Perempuan menuntut Demokrasi, Kesetaraan dan Kesejahteraan
Aksi Komite Perjuangan Perempuan di Hong Kong, Foto: Umi Sudarto, Kobumi |
Hari perempuan internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret adalah simbol kebangkitan perempuan. Ratusan Perempuan Buruh Migran Indonesia (BMI) yang tergabung dalam komite perjuangan perempuan bersemangat meneriakan demokrasi, kesetaraan dan kesejahteraan.
Aksi diawali oleh orasi dari Evan mewakili SERPAN (Serikat Anti Penindasan) mengatakan bahwa perempuan sampai hari ini masih terus menerus ditindas dalam hal ekonomi, sosial dan juga rentan sekali mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Itu semua disebabkan oleh sistem yang dibuat pemerintah Indonesia dan mereka sengaja tidak mau membuat peraturan yang berpihak pada perempuan dan rakyat.
Perempuan terpaksa harus menjadi imigran karena tanah miliknya dirampas oleh negara dengan alasan pembangunan. Semua ini harus kita hentikan. Perempuan harus bangkit melawan.
"Hidup Perempuan Indonesia, hidup Buruh Migran Indonesia," tutupnya.
Selanjutnya sambutan dari Uut mewakili BKB. BMI di hongkong dan di negara manapun masih terus mendapatkan diskriminasi dan terus menerus ditindas. BMI setiap hari harus bekerja lebih dari 15 jam nonstop tanpa istirahat. Kita hanya tidur 5 jam dan itu pun terkadang harus bangun tengah malam. Kondisi ini harus kita rubah.
SBY tahun 2011 pernah mengikuti konvensi ILO di PBB dan disana SBY berjanji akan memberikan kesejahteraan bagi BMI di setiap negara penempatan. Tapi janjinya hanya tinggal janji, tidak pernah ditepati hingga selesai masa tugasnya.
"Saat ini Prediden Jokowi juga tidak akan bisa memberikan kesejahteraan bagi BMI. Mari kawan-kawan kita kawal kinerja pemerintah. Kita tuntut hak-hak kita sampai menang," tegas Uut di penutup orasinya.
Perempuan selalu saja mendapatkan perlakuan tidak adil, selalu saja dijadikan korban. Perempuan terpaksa bekerja menjadi BMI demi mencukupi kebutuhan keluarga. Ada yang bilang menjadi BMI itu sejahtera.
"Apakah kawan-kawan sudah sejahtera? tanya Iis dari Kobumi dalam orasinya di KJRI.
Iis mengatakan bahwa BMI belumlah sejahtera karena jika sudah merasa sejahtera seharusnya sudah di Indonesia dan berkumpuk bersama keluarga. Tapi ini tidak, kami masih terus berada disini, di tempat ini bekerja untuk keluarga. Bahkan sebenarnya kami bekerja untuk menghidupi bangsa dan negara Indonesia.
Aksi peringatan IWD tahun 2017 ini juga dihadiri oleh Alex, warga lokal Hong Kong yang menjadi anggota KOBUMI karena tersentuh hatinya dengan perjuangan Kobumi di Hong Kong menuntut keadilan. Alex merasa geram atas pelayanan KJRI yang hanya berpihak pada agensi, tidak pernah mau perduli dengan kondisi BMI. Membiarkan upah BMI dirampas lewat biaya potongan yang tinggi. Lagi dan lagi ketika BMI mempunyai masalah, KJRI dan agensi akan saling lempar tanggung jawab.
Umi Sudarto, Koordinator Komunitas Buruh Migran Asia Pasifik (Kobumi Aspak) menambahkan catatan dalam peringatan IWD tahun 2017 ini bahwa BMI terus di indas oleh sistem yang dibuat Kapitalisme, BMI terus menerus diasingkan. Kita bekerja dengan jam kerja yang sangat pajang sehingga membuat kita terbelenggu. Jangankan untuk mendapatkan istirahat cukup, ketika mau istirahat sebentar saja sudah diteriaki. Kondisi ini terjadi karena kita diwajibkan live jn (hidup di rumah majikan).
"What do we want? We want 8 hour working, What do we want? We want 8 hours sleeping, What do we want? We want 8 hours for what ever we want," Umi Sudarto mengakhiri orasi politiknya.
Di akhir aksi Indra dari Srikandi Jawa membacakan statement atau pernyataan sikap Komite Perjuangan Perempuan.
Bahwa kaum perempuan takkan mungkin bisa melawan Patriarki, tanpa harus berjuang menumbangkan sistem yang ada, Kapitalisme;
Kaum perempuan harus bejuang dengan cara mengorganisasikan diri ke dalam organisasi-organisasi rakyat, rajin belajar dan membaca, terlibat aktif dalam perjuangan rakyat, serta meningkatkan solidaritas diantara rakyat;
Bahwa perjuangan kaum perempuan bukanlah perjuangan identitas, melainkan harus berbasis pada perjuangan kelas. Kaum perempuan harus bijak menentukan menentukan isu-isu perjuangan diantara kalangan rakyat dan kaum perempuan itu sendiri, agar tidak terjebak dalam perjuangan identitas belaka!
Tidak ada perjuangan pembebasan klas tanpa pembebasan perempuan, takkan ada pembebasan perempuan tanpa pembebasan klas.
Ditulis oleh Rani Suwito
COMMENTS