Lawan dan Hancurkan Penindasan Terhadap Perempuan
Neoliberalisme atau yang dikenal dengan bahasa trendnya globalisasi, adalah paham yang memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas yang mengurangi/ menolak peran pemerintah dalam persoalan ekonomi di suatu bangsa. Pemerintahan yang ada cukup memberikan kebijakan yang mensahkan (jalannya investasi) dan memfasilitasi jalannya perekonomian yang dibangun berbasiskan pasar bebas—agar efisiensi perdagangan dan investasi bisa mengalir dengan lancar.
Neoliberalisme muncul sebagai pemikiran sekaligus saran kebijakan ekonomi pada tahun 1978-1980. Esensi neoliberalisme adalah: 1) pengurangan peran negara dalam lapangan ekonomi dan sosial; 2) pasar finansial dan tenaga kerja harus dideregulasi untuk mendorong energi kreatif pasar; dan 3) investasi dan perdagangan harus digalakkan dengan menghapus segala bentuk rintangan terhadap mobilitas investasi/kapital, tenaga kerja, barang, dan jasa.
Untuk keefisienan jalannya investasi atau modal, para pemilik modal atau kapitalis selalu berusaha menekan pemerintahan yang ada, dengan mengurangi kebijakan-kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan umum atau penyesuaian struktural negara seperti menekan upah buruh semurah-murahnya, memotong subsidi pendidikan dan kesehatan, mencabut subsidi listrik, Bahan Bakar Binyak (BBM) dan lain sebagainya.
Neoliberalisme atau globalisasi sejatinya tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Neoliberalisme adalah bentuk dari kapitalisme dengan sifat-sifat : akumulasi, eksploitasi, dan ekspansi.
Dampak Neoliberalisme Terhadap Perempuan
Neoliberalisme adalah model akumulasi kapitalistik yang mengorbankan mayoritas massa rakyat dari berbagai sektor sosial, termasuk laki-laki dan perempuan secara brutal. Neoliberalisme tidak hanya mengorbankan perempuan tapi semua sektor sosial: pekerja, petani, masyarakat adat, produsen kecil, pemuda, anak-anak, dan lain-lain. Begitupun, dampak terburuk dari kebijakan neoliberal lebih dirasakan oleh perempuan daripada laki-laki.
Salah satu dampak brutal dari Neoliberalisme adalah penghilangan tugas negara dalam urusan kesejahteraan sosial dan komoditifikasi barang-barang publik. Salah satu bentuknya adalah privatisasi layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, layanan listrik, dan lain-lain. Di sisi lain, anggapan sosial/konstruksi sosial yang berlaku di masyarakat masih menempatkan kaum perempuan sebagai pihak yang bertanggung-jawab terhadap urusan domestik/rumah tangga. Perempuan-lah yang bertanggung-jawab untuk memastikan pendidikan, kesehatan, ketersediaan pangan, ketersediaan air bersih, dll bagi anggota keluarganya. Sementara laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Nah, ketika pemerintah menyerahkan urusan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, kepada mekanisme pasar sehingga memicu kenaikan biaya pada layanan tersebut, maka perempuanlah yang paling terkena dampaknya. Sebab, dalam konteks rumah tangga, perempuanlah yang dianggap bertanggung-jawab dalam urusan tersebut.
Neoliberalisme memaksimalkan proses akumulasi keuntungan dengan mendorong penciptaan tenaga kerja murah melalui pasar tenaga kerja yang fleksibel (Labour Market Flexibility), kemudian berlakulah sistim kerja magang, kontrak dan outsourcing bahkan kemudian menghilangkan kenaikan upah lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 78.
Sistem kerja yang jahat ini memaksa perempuan bekerja dengan upah murah dan di bawah kondisi kerja yang buruk. Data ILO mengungkapkan, ada 12,44 persen buruh perempuan yang berpenghasilan Rp 200,000 ke bawah per bulan. Sedangkan jumlah pekerja laki-laki yang berpendapatan serupa hanya berkisar 4,39 persen. Data lain mengungkapkan, kesenjangan upah berdasarkan gender mencapai 17-22%. Di samping itu, di bawah tekanan pasar tenaga kerja yang fleksibel tadi, banyak perempuan yang kesulitan mendapatkan hak dasarnya sebagai buruh perempuan, seperti cuti haid, cuti melahirkan, dan lain-lain. Catatan Komnas Perempuan pada tahun 2011 juga menyebutkan, buruh perempuan sangat rentan mengalami tindak kekerasan seperti jam kerja yang panjang, larangan cuti haid dan melahirkan, dan PHK sepihak.
Kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh neoliberalisme, termasuk di wilayah pedesaan, memaksa perempuan bekerja keras mencari nafkah. Perempuan terpaksa menjadi pekerja murah di kota maupun di luar negeri.
Neoliberalisme berkontribusi dalam memperbesar jumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di luar negeri. Pada tahun 1996, jumlah BMI laki-laki mencapai 44 persen dan perempuan mencapai 56 persen. Dalam satu dekade kemudian, tepatnya tahun 2007, angka itu berubah drastis, jumlah BMI perempuan meningkat menjadi 78%, sedangkan laki-laki berkurang menjadi 22%. Dalam banyak kasus, sebagian besar perempuan yang menjadi buruh migran di luar negeri itu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak manusiawi dan jam kerja yang panjang sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), perawat anak (Babby Sitter), perawat lansia, dan lain sebagainya. Semua bentuk eksploitasi terhadap BMI ini adalah bentuk perbudakan modern yang dibiarkan terus menerus terjadi oleh negara pengirim dan penerima.
International Organization for Mogration (IOM) mencatat, antara Maret 2005 hingga Desember 2011, pihaknya menangani 4.067 kasus perdagangan manusia (Human Trafficking). Hampir 90% korbannya adalah perempuan. Sebagian besar kasus perdagangan perempuan ini mengarah pada eksploitasi seksual (pekerja seks komersil).
Dampak Neoliberalisme terhadap kaum perempuan merupakan wujud feminisasi kemiskinan. Feminisasi kemiskinan adalah gambaran nyata bahwa korban kemiskinan adalah perempuan. Dalam laporannya, United Nations Development Programme (UNDP) atau Badan Program Pembangunan PBB tahun 1995, menyebutkan kemiskinan memiliki wajah perempuan (Poverty has a women face), mengungkap bahwa dari 1,3 miliar warga dunia yang miskin, 70 % di antaranya adalah kaum perempuan dengan pendapatan dibawah 1 US Dollar per harinya.
COMMENTS